Kamis, 06 Oktober 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI * * * * * oleh resta andara

Perkembangan Sosiologi di Eropa
Setelah mengetahui bahwa sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan, Anda mungkin bertanya bagaimana perkembangan sosiologi hingga mencapai bentuknya seperti sekarang. Sosiologi awalnya menjadi bagian dari fllsafat sosial. Ilmu ini membahas tentang masyarakat. Namun saat itu, pembahasan tentang masyarakat hanya berkisar pada hal-hal yang menarik perhatian umum saja, seperti perang, ketegangan atau konflik sosial, dan kekuasaan dalam kelas-kelas penguasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pembahasan tentang masyarakat meningkat pada cakupan yang lebih mendalam yakni menyangkut susunan kehidupan yang diharapkan dan norma-norma yang harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Sejak itu, berkembanglah satu kajian baru tentang masyarakat yang disebut sosiologi.
Menurut Berger dan Berger, sosiologi berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri karena adanya ancaman terhadap tatanan sosial yang selama ini dianggap sudah seharusnya demikian nyata dan benar (threats to the taken for granted world). L. Laeyendecker mengidentifikasi ancaman tersebut meliputi:
1.    terjadinya dua revolusi, yakni revolusi industri dan revolusi Prancis,
2.    tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15,
3.    perubahan di bidang sosial dan politik,
4.    perubahan yang terjadi akibat gerakan reformasi yang dicetuskan Martin Luther,
5.    meningkatnya individualisme,
6.    lahirnya ilmu pengetahuan modern,
7.    berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri.
Menurut Laeyendecker, ancaman-ancaman tersebut menyebabkan perubahan-perubahan jangka panjang yang ketika itu sangat mengguncang masyarakat Eropa dan seakan membangunkannya setelah terlena beberapa abad.
Auguste Comte, seorang filsuf Prancis, melihat perubahan-perubahan tersebut tidak saja bersifat positif seperti berkembangnya demokratisasi dalam masyarakat, tetapi juga berdampak negatif. Salah satu dampak negatif tersebut adalah terjadinya konflik antarkelas dalam masyarakat. Menurut Comte, konflik-konflik tersebut terjadi karena hilangnya norma atau pegangan (normless) bagi masyarakat dalam bertindak. Comte berkaca dari apa yang terjadi dalam masyarakat Prancis ketika itu (abad ke-19). Setelah pecahnya Revolusi Prancis, masyarakat Prancis dilanda konflik antarkelas. Comte melihat hal itu terjadi karena masyarakat tidak lagi mengetahui bagaimana mengatasi perubahan akibat revolusi dan hukum-hukum apa saja yang dapat dipakai untuk mengatur tatanan sosial masyarakat.
Oleh karena itu, Comte menyarankan agar semua penelitian tentang masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri. Comte membayangkan suatu penemuan hukum-hukum yang dapat mengatur gejala-gejala sosial. Namun, Comte belum berhasil mengembangkan hukum-hukum sosial tersebut menjadi sebuah ilmu. la hanya memberi istilah bagi ilmu yang akan lahir itu dengan istilah sosiologi. Sosiologi baru berkembang menjadi sebuah ilmu setelah Emile Durkheim mengembangkan metodologi sosiologi melalui bukunya Rules of Sociological Method. Meskipun demikian, atas jasanya terhadap lahirnya sosiologi, Auguste Comte tetap disebut sebagai Bapak Sosiologi.
Meskipun Comte menciptakan istilah sosiologi, Herbert Spencer-lah yang mempopulerkan istilah tersebut melalui buku Principles of Sociology. Di dalam buku tersebut, Spencer mengembangkan sistem penelitian tentang masyarakat. la menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas di masyarakat. Menurut Comte, suatu organ akan lebih sempurna jika organ itu bertambah kompleks karena ada diferensiasi (proses pembedaan) di dalam bagian-bagiannya. Spencer melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang tersusun atas bagian-bagian yang saling bergantung sebagaimana pada organisme hidup. Evolusi dan perkembangan sosial pada dasarnya akan berarti jika ada peningkatan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dari homogen ke heterogen dari kondisi yang sederhana ke yang kompleks. Setelah buku Spencer tersebut terbit, sosiologi kemudian berkembang dengan pesat ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sosiologi di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak zaman dahulu. Walaupun tidak mempelajari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, para pujangga dan tokoh bangsa Indonesia telah banyak memasukkan unsur-unsur sosiologi dalam ajaran-ajaran mereka. Sri Paduka Mangkunegoro IV, misalnya, telah memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai golongan yang berbeda (intergroup relation) dalam ajaran Wulang Reh. Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia banyak  mempraktikkan konsep - konsep penting sosiologi seperti kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di Taman Siswa yang didirikannya. Hal yang sama dapat juga kita selidiki dari berbagai karya tentang Indonesia yang ditulis oleh beberapa orang Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19. Mereka menggunakan unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berpikir untuk memahami masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan pendekatan sosiologis untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya dipergunakan oleh pemerintah Belanda untuk menguasai daerah tersebut.
Dari uraian di atas terlihat bahwa sosiologi di Indonesia pada awalnya, yakni sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain, sosiologi belum dianggap cukup penting untuk dipelajari dan digunakan sebagai ilmu pengetahuan, yang terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.
Secara formal, Sekolah Tinggi Hukum (Rechtsshogeschool) di Jakarta pada waktu itu menjadi saru-satunya lembaga perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah sosiologi di Indonesia walaupun hanya sebagai pelengkap mata kuliah ilmu hukum. Namun, seiring perjalanan waktu, mata kuliah tersebut kemudian ditiadakan dengan alasan bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum. Dalam pandangan mereka, yang perlu diketahui hanyalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya. Sementara, penyebab terjadinya sebuah peraturan dan tujuan sebuah peraturan dianggap tidaklah penting.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sosiologi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Adalah Soenario Kolopaking yang pertama kali memberikan kuliah sosiologi dalam bahasa Indonesia pada tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM). Akibatnya, sosiologi mulai mendapat tempat dalam insan akademisi di Indonesia apalagi setelah semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menuntut ilmu di luar negeri sejak tahun 1950. Banyak para pelajar Indonesia yang khusus memperdalam sosiologi di luar negeri, kemudian mengajarkan ilmu itu di Indonesia.
Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan oleh Djody Gondokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang memuat beberapa pengertian mendasar dari sosiologi. Kehadiran buku ini mendapat sambutan baik dari golongan terpelajar di Indonesia mengingat situasi revolusi yang terjadi saat itu. Buku ini seakan mengobati kehausan mereka akan ilmu yang dapat membantu mereka dalam usaha memahami perubahan-perubahan yang terjadi demikian cepat dalam masyarakat Indonesia saat itu. Selepas itu, muncul buku sosiologi yang diterbitkan oleh Bardosono yang merupakan sebuah diktat kuliah sosiologi yang ditulis oleh seorang mahasiswa.
Selanjutnya bermunculan buku-buku sosiologi baik yang tulis oleh orang Indonesia maupun yang merupakan terjemahan dari bahasa asing. Sebagai contoh, buku Social Changes in Yogyakarta karya Selo Soemardjan yang terbit pada tahun 1962. Tidak kurang pentingnya,
tulisan-tulisan tentang masalah-masalah sosiologi yang tersebar di berbagai majalah, koran, dan jurnal. Selain itu, muncul pula fakultas ilmu sosial dan politik berbagai universitas di Indonesia di mana sosiologi mulai dipelajari secara lebih mendalam bahkan pada beberapa universitas, didirikan jurusan sosiologi yang diharapkan dapat mempercepat dan memperluas perkembangan sosiologi di Indonesia.

Social Group

Pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang hidupnya selalu berhubungan dengan manusia yang lain.Setiap individu tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri yang memiliki kekurangan , sehingga ia perlu untuk membentuk suatu kelompok sosial agar seluruh kebutuhannya dapat terpenuhi.Kelompok sosial tersebut merupakan kumpilan individu-individu yang hidup bersama dengan mengadakan hubungan timbale balik yang cukup intensive dan teratur sehingga diharapkan terbentuk pembagian tugas, struktur serta norma-norma tertentu yang berlaku bagi mereka.
Kelompok sosial pada dasarnya dibedakan menjadi dua yaitu, kelompok teratur dan tidak teratur.Kelompok sosial yang teratur dapat dibedakan berdasarkan criteria:
1. Besar kecilnya anggota yaitu kelompok primer dan sekunder.
2. Derajat organisasi yaitu kelompok formal dan informal.
3. Interaksinya yaitu ferensi group dan membership group.
Sedangkan kelompok sosial yang tidak teratur dibedakan menjadi dua yaitu kerumunan dan public.
Kelompok primer memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Hubungan sesame anggota saling berdekatan.
2. Jumlah anggotanya relative kecil
3. Hubungan antar anggota agak permanent.
4. Adanya kesamaan tujuan dalam kelompok
5. Hubungan antar anggota terjadi secara sukarela.
6. Hubungan antar anggota bersifat inklusif , artinya tidak dapat digantikan orang lain.

Kelompok primer ini dapat memberikan pengaruh yang besar bagi individu anggota kelompok karena dapat memperbesar rasa solidaritas dan memberikan pegangan kepada individu agar tidak bingung dan stres.
Contoh kelompok primer adalah : keluarga.

Kelompok sekunder memiliki cirri-ciri sebagai berikut
1. Jumlah anggotanya relative banyak sehingga tidak saling mengenal satu sama lainnya.
2. Hubungan antar anggota relative renggang sehingga tidak dibutuhkan hubungan yang bersifat pribadi.
3. Sifatnya tidak permanent
4. Hubungannya cenderung bersifat hubungan formil, kontak sosial yang terjadi felatif sedikit, ada hubungan bila ada kepentingan tertentu saja.
Keputusan-keputusan yang diambil dalam kelompok ini lebih mengutamakan obyektivitas dan tidak mempertimbangkan factor pribadi, dank arena tidak ada loyalitas terhadap kelompoknya maka tidak ada landasan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama.


Kelompok formal
Kelompok formal ini adalah kelompok yang memiliki peraturan tegas dan sengaja dibentuk untuk ditaati dan mengatur hubungan antar anggotanya.Karena organisasinya resmi maka dikenal struktur organisasi kelompok, sehingga terdapat hirarkhi karena terdapat pembedaan tugas dan wewenang.Loyalitas anggotanya bukan lagi kepada kelompok melainkan kepada peraturan yang telah dibuat.
Kelompok informal
Adalah kelompok yang tidak resmi, tidak memiliki struktur organisasi yang pasti, jadi kelompok ini tidak didukung oleh peraturan-peraturan tertulis yang pasti.Kelompok ini pada umumnta terbentuk karena adanya pengalaman dan kepentingan yang sama dari para anggotanya.

Membership group
Adalah kelompok dimana setiap orang yang secara fisik tercatat menjadi anggota kelompok tersebut.Kelompok ini dibagi menjadi dua yaitu,:
1. Nominal group member : anggota yang masih berinteraksi dengan kelompok sosial yang bersangkutan, akan tetapi interaksinya dengan anggota lainnya berkurang.
2. Perihal group member : seseorang yang seolah-olah tidak menjadi anggota kelompok tersebut sehingga kelompok tersebut tidak memiliki kekuasaan terhadap anggota kelompok tersebut.

Reference group
Merupakan kelompok sosial yang menjadi ukuran bagi seseorang ( ia bukan sebagai anggota kelompok ) untuk membentuk pribadi dan perilakunya.

Kerumunan /crowd
Memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Adanya kehadiran individu-individu secara fisik dan ukurannya.dalam terbentuknya kerumunan ini juga diperlukan adanya suatu perhatian terhadap suatu hal.
2. Merupakan kelompok yang tidak terorganisir, oleh karena itu tidak memiliki pemimpin dan tidak memiliki pembagian kerja maupun system pelapisan sosial.sehingga interaksinya bersifat spontan,spontan,tidak dapat diduga, setiap individu yang hadir dalam kelompok ini memiliki kedudukan yang sama.
Oleh Mayor Polak , kerumunan dikelompokkan menjadi dua yaitu kerumunan aktif dan ekspresif. Kerumunan aktif timbulnya secara spontan, bersifat emosional,bersifat destruktif yang bertujuan merusak.Perbuatan ini dilakukan untuk melepaskan perasaan tidak puas, kemarahan maupun kejengkelan terhadap suatu hal.Kerumunan ini dapat menjalar luas karena adanya penularan-penularan sosial.
Sedangkan kerumunan ekspresif tidak mengenal pusat perhatian maupun tujuan yang sama, malainkan hanya mengenal emosi saja.Kerumunan semacam ini tidak merusak, hanya sekadar melepaskan ketegangan emosi sja.
Kerumunan ekspresif dapat berubah menjadi kerumunan aktif.Misalnya penonton sepak bola yang marah pada wasit karena tidak dapat bersikap adil dalam memimpin jalannya sepak bola.

Bentuk-bentuk kerumunan :
1.ditinjau dari struktur sosial
a. formal audience : penonton bioskop
b.planned expresisive group : kerumunan dansa.
2.kerumunan sementara:
a. inconvenient aggregation : kerumunan kurang menyenangkan: antri karcis.
b. panic crowd ; kerumunan kebakaran.
c.spectator crowd : kerumunan ingin melihat sesuatu ( kecelakaan laulintas )
3.melawan hokum:
a. acting mob: pembunuhan beramai-ramai.
Immoral crowd : pesta sex.



Public:
Berbeda dengan kerumunan, pada public ini individu-individu tidak saling bertemu/tatap muka.Interaksinya terjadi secara tidak langsung/melalui alat-alat media.Kelompok ini terjadi karena adanya minat, kegemaran yang sama dan kepentingan yang sama.Dalam public ini kepentingan pribadi lebih menonjol dari pada kepentingan umum.Untuk mempertemukan public ini dapat melalui berita-berita.
Publik dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok vested interst, new comer dan kelompok pasif.


Massa:
Berbeda dengan crowd, pada massa merupakan kumpulan orang banyak yang mempunyai kehendak/pandangan yang sama, tetapi tidak berkerumun pada suatu tempat tertentu dan mengikuti kejadian penting melalui alat-alat komunikasi modern.Setiap massa memiliki intraksi secara terpisah, sehingga tindakannya tidak spontan terhadap sugenti yang timbul, masaa ini lebih bersifat rasional. ( J.Dwi Narwoko, 2008 )